Ini curhatan yang gue tulis semalem. It’s 00.38 am. Dan rumah gue mati lampu. Gue cek sekitar, gelap gulita. Pemadaman jam segini? Cerdas. Gue yang sudah bertransformasi menjadi manusia nokturnal semakin ngga bisa memejamkan mata. Jadi beginilah, gue melampiaskan heningnya malam dengan menulis tanpa arah. Ngga tau, gue Cuma ingin menulis. Sama seperti saat-saat dimana gue menghabiskan malam dengan mengitari Metropolitan. Satu jam di atas motor, sendirian dan tak ada tujuan. I don’t know, selama belajar hidup sendiri dua tahun ini, hal semacam itu seakan menjadi kebiasaan baru. Apa yang gue lakukan di tengah udara dingin Surabaya? Ngga pasti. Kadang sibuk berbicara sendiri melampiaskan kekesalan yang menumpuk di ulu hati, kadang juga hanya terdiam membiarkan agin malam menyapu mata gue, membuatnya berair, dan tiba-tiba air mata meleleh menghangatkan pipi yang sudah terlampau basah. Kadang gue menikmati menjadi sendiri, kadang gue iri dengan mereka-mereka yang punya kawan hidup peredam sepinya hari-hari, kadang gue bersyukur tak mengajak seorang teman pun ketika pergi, kadang gue memaki-maki diri yang ciut nyali karena tak sanggup menginjakkan kaki ke sebuah tempat belanja tanpa seseorang yang gue kenal, kadang gue menerawang ke kehidupan gue dan bergumam, “Jadi apa gue kalo ngga ketemu mereka?” Menjelang umur yang akan kehilangan angka satu di depannya, gue rasa semakin mengerti apa-apa yang gue inginkan dalam hidup. Pun semakin ke sini, gue juga merasa, mungkin akan tak apa jika terus sendiri-entah hingga umur berapa. Walaupun sering berbincang tentang jodoh saat bersama teman-teman, sebenarnya gue ngga sepilu itu. Mungkin. Gue lebih bisa membayangkan hidup mandiri tanpa bergantung pada seorang pria, daripada mengimaji menjadi ibu rumah tangga yang punya kewajiban mengurus keluarga. Saat sendiri, gue sering berteriak hening karena bosan dengan pagi, siang, malam yang sepi. Namun seiring gue menemukan distractions, gue baik-baik saja. Teman-teman pernah terkejut kala mendengar gue yang ngga menyelipkan doa ‘minta didekatkan dengan jodoh’ setiap usai shalat. I thought it wasn’t a big deal. Gue hanya tertawa mendengar celotehan mereka yang memarahiku, mengatakan bahwa hal semacam itu harus dimulai sejak sekarang. Gue hanya menulis pesan dari empat sahabat gue itu di handphone, dan as you see, berlalu bergitu saja. Setiap gue mengadahkan tangan pada Tuhan, rasanya gue ngga bisa meminta perihal satu itu. Ngga siap gue. Ngga siap. Kalau boleh bercerita, mungkin karena pikiran gue udah lama ditelan asumsi pribadi bahwa semua pria itu sama. Rese. Mengecewakan. Bagi gue, biarlah gue bertemu dia pada saat yang tepat, pada waktunya. Jujur gue ngga ingin terburu-buru merasakan cinta karena gue takut terbelenggu, walau sejatinya alasan sesungguhnya adalah, gue takut terluka. Ea. Katakan gue berlebihan, tapi memang itu yang gue rasakan. Gue skeptis dengan pernikahan. Yang gue lihat, orang-orang menikah hanya atas tuntutan orang tua yang ingin segera menggendong cucu, orang-orang yang menikah karena ingin menjadikan pasangannya ‘ladang pahala’ daripada ‘kebun dosa.’ OH CMON. Biarlah kalian katakan gue menulis ini karena kesepian, pesimis dengan kehidupan asmara gue, atau yang lainnya. Gue ngga mau membuat any excuse karena mungkin perkataan kalian memang benar. Gue sangat menghindari apa-apa yang membahas cinta dengan cheesy, macam drama-drama romance. Gue lebih suka musik-musik ballad bertema cinta tak terbalas, perasaan terkhianati, tak berharap, dan sebagainya. Ya, mungkin itu menggambarkan diri gue sebenarnya. Yang tak berani membangun kepercayaan pada laki-laki manapun, yang memilih melupakan apapun rasa suka yang terbersit. Gue ngga suka perasaan gue terbang hanya karena sepatah-dua patah kata dari laki-laki. Tunggu saja hingga waktunya. Sampai Tuhan memaksa cinta masuk ke lubuk hati gue, membiarkannya luluh untuk percaya pada seorang pria yang telah Dia takdirkan. Ya, walaupun saat menulis ini, terbersit di otak gue tentang kapan datangnya hari itu. Akankah ada? Tuhan mengatakan jika makhlukNya diciptakan berpasang-pasangan. Masihkah pasangan gue berada di dunia yang sama dengan gue? No one knows, hanya Dia yang tahu.
Hmm.. Gw juga nocturnal. Haha.. Dan, yahh.. Untuk masalah jodoh gw ada sepaham juga. Tapi hati2. Malem banyak naga2 berkeliaran, jangan sampe ditelen naga ya. Wkwkwkw
yoossshhh yang tabah mbak nya......jodoh nya mungkin masih agak lama..... "sendiri" bukan berarti gak laku.....banyakin lagi doa nya (gratis kok) emang pernikahan di karena kan "harus kawin" bisa membuat lebih banyak dosa cari cowok yang pas di hati emang susah tapi kalo berdasarkan nafsu pasti banyak saya cuman bisa bantu doa aja dari sini semoga cepat di pertemukan dengan seseorang yang sesuai dengan mbak nya.....
Berarti kamu masih belasan (umurnya). Tenang perjalanan masih panjang ga usah terlalu dipikirin. Kamu boleh khawatir kalau udah umur 35 ke atas (sori kalau ini terlalu tua) 30 tahun lah
hahaha. iyosshh. iya jelas masih lama, sih, orang kuliah aja masih akan ngerjain skripsi. but you know lah, mau umur 20 tuh dikit2 udah ditanyain nikah. nikah nikah. buset. hooh, terimakasih doanya
iya, ini hanya curhat dan melampiaskan pemikiran gue selama ini aja sih. soalnya ngga mungkin ngomong kaya gini ke ortu, nyampein pendapat semacam ini pas ngobrol sama temen2 gue yg notabene pada pengen nikah muda. thank you btw
Yaaap, let it flow aja ~ Pertanyaan klasik yang biasa terlontar : lagi kuliah . kapan lulus? udah lulus. kapan kerja? udah kerja. kapan nikah? udah nikah. kapan punya anak? udah punya anak. kapan anak pertama punya adek? danbegituseterusnya. Suka kzl kadang yg tanya tanpa melihat keadaan, yowisihyo yen wis wektune ki yo kabeh bakal dilakoni og #teamnocturnal
nahtuhkan, sedih ya hahahaha. gue masih kuliah uda ditanyain "uda ada calon belum" iya, bakal datang pada waktunya ko