"Harry, bentar ya! Lagi sisiran nih!" Aku selalu berteriak dari kamarku di pagi hari, kata-kata yang sama, untuk orang yang sama, sejak SD sampai saat ini−aku sudah duduk di bangku perkuliahan−ya walau nggak sesering masa sekolah. Harry nggak pernah marah, hanya tersenyum, sambil menemani mama yang lagi masak. Padahal dia tau, aku bukan lagi sisiran, tapi baru selesai mandi. Harry, tetanggaku. Rumahnya tepat di depan rumahku. Setiap hari datang ke rumah, menjemput aku si tuan putri. "Motor bagus tapi ga bonceng cewe, ga asik." Kata Harry. Karena itu dia jemput aku setiap hari. Tapi, mau bonceng cewe atau nggak, Harry tetap Harry yang keren. "Ada cewe yang suka sama aku di kelas." kata Harry di sela makan siang kita. "Cantik ga?" Harry mengangguk, hatiku merutuk. "Cieee. Kamu suka juga?" aku menyiram lukaku dengan garam. "Kayanya sih.." jawab Harry sambil tersenyum malu. Makan siang hari itu berakhir dengan tenang. Nggak ada canda tawa. Nggak ada salam perpisahan. Nggak ada lambaian tangan. Hari itu berakhir dengan tenang. Yang duduk dibonceng motor keren Harry bukan aku lagi. Yang makan siang bersama Harry bukan aku lagi. Yang ditunggunya tiap pagi bukan aku lagi.