Desember lalu, depresiku memuncak. Aku berkali-kali berusaha bunuh diri dengan jalan overdosis. Januari, depresiku tidak membaik. Setelah ratusan menit yang kuhabiskan untuk berbicara dengan orang tua, Ayah mengunjungiku ke tanah rantau-satu hal yang belum pernah beliau lakukan karena sibuk dengan pekerjaan. Atas rekomendasi Ayah dan sakit batinku yang tiada tara, aku memutuskan mengunjungi psikiater di rumah sakit umum. Satu kali konsultasi, dokter menyuruhku pulang ke rumah. Sejak konsultasi pertama, dokter membekaliku dengan obat-obatan antidepresan. Aku ikuti perintahnya, aku pulang ke rumah setelah pamit untuk resign dari beberapa pekerjaan paruh waktu. Pertemuan kedua dengan psikiater aku lakukan bersama Bunda. Februari, keadaan psikisku tidak kunjung membaik. Secara mental, aku lega telah meluapkan kesedihan kepada pihak medis. Namun mood swing masih sering melandaku. Orangtua berusaha mengobatiku melalui jalan non-medis; rukyah. Aku katakan kepada Ayah, aku sedang marah kepada Tuhan. Ayah tetap kukuh untuk membawaku ke tempat rukyah masal. Aku abai, sangat abai dan meremehkan prosesi rukyah waktu itu. Tidak ada yang terjadi padaku; aku tidak menjerit-jerit, meraung-raung seperti jamaah lain. Suatu malam, Ayah kembali memanggil ustad untuk merukyah keluarga. Sesuatu di dalam diriku marah. Marah sekali. Tanpa sepengetahuan siapapun, aku pergi ke kamar Ayah, melucuti kotak obatnya, mengambil obat apapun yang bisa aku temui. Aku bergegas ke kamar, menelan obat sebanyak yang aku bisa. Dadaku berdegup kencang, keringat dingin membanjiri tubuhku, malam itu aku kehilangan keseimbangan. Malam itu aku kehilangan kesadaran bahkan hingga keesokan harinya. Dan malam itu juga, aku dirujuk ke sebuah rumah sakit jiwa terdekat. Kini, aku sudah lebih baik. Memang, aku harus menunda kelulusan kuliah untuk sementara. Tapi tak apa, first thing first, 'diriku' dahulu. Aku bersyukur saat itu aku memutuskan berbicara dengan orangtua terkait masalahku. Aku bersyukur aku berani reach out for help. Aku bersyukur menjalani rehabilitasi di RSJ. Maka, untuk kalian yang mungkin mengalami depresi dan merasa sendiri, seka air mata kalian. Aku tahu sulit sekali untuk menegakkan kepala. Aku tahu sulitnya untuk menjadi kuat. Aku tahu bahwa tidak mudah untuk menumpahkan perasaan kepada orang lain. Percayalah, ada orang-orang yang akan menangis bila melihatmu menangis. Percayalah, ada orang-orang yang sedih jika kehilangan kamu. Percayalah, aku dan banyak orang lain ingin melihat senyummu lagi. Percayalah, kamu kuat.